






Komunitas St. Martha Darmaningsih
Claket Mojokerto, yang berudara sejuk dan berada di daerah perbukitan pinus, menjadi tempat pilihan bagi para suster untuk berlibur. Rumah dengan luas tanah sekitar 4 hektar, yang disebut “Mariaheuvel” atau “Bukit Maria” itu, dibeli dari seorang Jerman bernama Mayer, pada tahun 1937.
Kisah penyekapan atas tiga orang suster: Sr. Robertine, Sr. Casildis, dan Sr. Gerardine pada malam tahun baru beserta dua orang pastor yang sedang berada di sana untuk merayakan Natal bersama pada tahun 1949, menjadi cerita yang mewarnai keberadaan rumah berlibur tersebut. Meski telah dibebaskan oleh tentara Belanda sebulan kemudian, peristiwa mencekam itu me-ninggalkan sebersit rasa takut bagi para suster untuk pergi berlibur ke Claket dalam beberapa waktu lamanya. Tahun 1968, setelah dirasakan situasinya aman, para suster memutuskan untuk kembali datang ke Claket. Namun, karena begitu lama ditinggalkan, keadaan rumah banyak yang hancur, isi rumah dijarah dan bahkan dibakar massa sebagai dampak dari situasi politik aksi pembumi-hangusan waktu itu.
Sr. Ittaberga berjuang keras membangun kembali rumah itu, termasuk juga, dengan ban-tuan Sr. Bernarita, mengurus hak atas tanah yang telah dikuasai oleh pemerintah karena diang-gap ditinggalkan oleh pemiliknya. Selain menjadi rumah berlibur, para suster menggunakan salah satu area di dekat pintu masuk untuk membuka poliklinik, di suatu pondok kayu sederhana. Para suster datang dengan rutin dari Surabaya dengan ambulans dan melayani di poliklinik tersebut, yang pada akhirnya menjadi rumah pertolongan pertama permanen. Pelayanan kesehatan ter sebut sangat dikenal oleh masyarakat setempat dan sekitar daerah Claket karena banyak yang meyakini kemanjuran pengobatan para suster.
Di tempat agak atas, dengan fondasi bekas kandang sapi yang masih tertinggal, dibangunlah satu rumah dengan empat kamar dan pendopo di depannya, yang dikenal dengan Pondok Bogenville, pada tahun 1972. Biara Santa Martha sendiri dibangun tahun 1974, dan diberkati pada Pesta Maria Dikandung Tanpa Noda Asal tanggal 8 Desember dengan nama “Dharmaningsih”, yang artinya kelimpahan berkat. Hari ini pula di-mulailah komunitas baru ini, dan untuk semen-tara Sr. Ittaberga tinggal sendirian.
Dalam perjalanan waktu, para suster tidak hanya melayani keperluan kesehatan masyara kat, tetapi juga kegiatan pemberdayaan kaum perempuan di desa sekitar supaya mandiri de-ngan memberi pelajaran menjahit, membuat keripik dan taman gizi, yang mengajar para ibu untuk menyiapkan makanan bergizi untuk bali-tanya, yang didampingi oleh Sr. Maria Francisca.
Dalam perjalanannya, pada saat Sr. Elsa menjadi pemimpin, pengembangan demi pengembangan terus dilakukan, di antaranya di atas rumah pertama yang telah dihancurkan dan dibakar, dibangun Pondok Cemara; lalu pada tahun 1994, Kompleks Pondok Melati, Palma, Ruang Perte-muan dan Dapur, yang diberkati oleh Rama Yosef, SVD, Kepala Paroki Mojokerto. Kompleks ini merupakan bagian dari realisasi sebuah “Youth Centre”, suatu sarana yang telah direncanakan untuk kegiatan pembinaan orang muda, yang melengkapi area camping ground yang sudah dibuat sebelumnya.
Selanjutnya, tanggal 6 Januari 1999, dimulai proses pembangunan rumah ibadat/gedung ser-baguna, yang pada Hari Raya Yesus Dipersembah-kan ke Kenisah tahun 2000, diresmikan dengan pemberkatan oleh P. Pankratius Mariatma, SVD. Hadir pada acara peresmian itu Bapak Camat, Lurah, dan Pejabat Desa lain.
Para suster juga terlibat dalam pembinaan para frater Projo yang sedang menjalani masa Tahun Orientasi Rohani (TOR) dengan mengajar para frater, di samping ikut mengunjungi orang kusta di Sumber Glagah, meski pada 3 September 2020 pelayanan ini dihentikan. Tahun 2016-2019, Komunitas Santa Marta sempat menjadi rumah formasi untuk para calon suster (Aspiran).
Pada saat pandemi Covid-19 melanda, rumah-rumah retret mengalami kekosongan tamu, yang mengakibatkan para karyawan terpaksa dirumah-kan. Setelah pandemi berlalu, semua karyawan diberi uang pensiun dan penghargaan sesuai masa kerjanya. Peraturan kerja karyawan diganti menjadi tenaga kerja harian sesuai dengan kebutuhan aktivitas rumah retret.
Masyarakat di sekitar rumah retret Santa Marta Dharmaningsih ini sangat peduli dengan situasi ini. Mereka bahkan mengirimkan makan-an untuk para suster, mengingat para suster mengalami kekurangan pendapatan ketika Covid melanda. Dengan terbangunnya suasana yang harmonis, kasih persaudaraan terjalin lebih erat. Setelah pandemi Covid berlalu, semua karyawan diberi uang pensiun dan penghargaan sesuai dengan masa kerja mereka.
Para suster mempunyai relasi yang baik dengan masyarakat sekitar dan membangun silaturahmi serta persaudaraan yang harmonis. Lahan dan kebun yang ada dimanfaatkan untuk menanam sayur-sayuran, yang dikonsumsi untuk keperluan rumah retret, dan dijual. Komunitas menghidupi nilai-nilai: belas kasih, berbagi de-ngan tulus dan gembira, menyambut setiap orang dengan sukacita persaudaraan, mencintai dan merawat alam ciptaan.
Sumber : Buku 100th SSpS Provinsi Jawa “Menari Bersama Sang Api”