Lompat ke konten

Komunitas Roh Suci Yogyakarta

Semula, rasanya tak ada alasan untuk membuka komunitas di kota Yogyakarta karena kota ini sudah dipenuhi oleh demikian banyak religius dari berbagai tarekat. Para suster yang belajar di sini, baik dari Provinsi Jawa, Flores, maupun Timor terpaksa kost di biara kongregasi lain. Dan ketika jumlahnya makin meningkat, merekapun mengontrak rumah di Njanti dan tinggal di sana selama 3-4 tahun.

Bagaimanapun, kehidupan komunitas menjadi kebutuhan pokok seorang religius. Maka, tercetuslah ide untuk mendirikan satu rumah bersama tiga Provinsi. Maka jadilah, 25 Mei 1988 diletakkan batu pertamanya. Setahun kemudian, rumah itu siap dipakai, dengan nama biara Roh Suci dan diberkati oleh Mgr. Yulius Darmaatmaja SJ, Uskup Agung Semarang saat itu, pada tanggal 11 April 1989. Spiritualitas inkulturasi yang kental sangat terasa pada design kapel yang bernuansa Jawa, sangat padan dengan kota Yogyakarta.

   Komunitas ini benar-benar menampakkan spiritualitas internasionalitas dengan heterogenitas anggotanya. Pemimpin rumahpun bergiliran dari 3 provinsi. Sr. Bernarita dari Provinsi Jawa menjadi pemimpin pertama rumah ini dan dilanjutkan oleh Sr. Emiliana dari Provinsi Timor sebagai pemimpin kedua pada tahun 1992 serta Sr. Martina dari Provinsi Flores mulai tahun 1998.

Acara harian para suster menyesuaikan dengan jadwal kuliah para suster. Pertemuan Komunitas diusahakan agar semua suster bisa hadir. Sejak ditempati hingga tahun 2021, jumlah anggota Komunitas di atas 20 suster. Namun pada tahun 2019, jumlahnya mulai menurun dikarena kan provinsi dan regio mengurangi mengirim suster untuk kuliah, bahkan tidak lagi mengirim susternya untuk kuliah di Yogyakarta tetapi ke kota lain. Pada bulan Maret 2024, jumlah anggota Komunitas tinggal 11 suster dari Provinsi Folres Barat, Flores Timur, Timor, Kalimantan, dan Jawa.

Karya kerasulan komunitas studi ini antara lain dengan para waria, yaitu bersama-sama merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus, kursus salon untuk waria, bahkan mendampingi waria kembali pada jati dirinya sebagai laki laki. Para suster mengunjungi dan mengadakan kegiatan di Lapas, mengadakan sharing budaya, menerima kunjungan dari mahasiswa kampus lain, meng-ikuti doa-doa lingkungan, mengikuti kegiatan expo panggilan, hadir pada forum Persaudaraan Umat Beriman, merayakan hari AIDS sedunia, penanaman pohon di lereng Gunung Merapi ber-sama para waria dan pecinta alam Universitas Sanata Dharma, serta Forum Biarawan-biarawati Yogyakarta, bersama Komunitas SVD di Yogyakarta merayakan Pesta Santo Arnoldus dan Santo Josef Freinademetz. Para suster juga mendapat kunjungan dan perhatian dari Provinsial dan Regional masing-masing.

Sumber : Buku 100th SSpS Provinsi Jawa “Menari Bersama Sang Api”